Selasa, 27 Desember 2016

Aku Telah Jatuh Cinta




Bukan lautan tapi kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui
Udang dan ikan menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman
Tepat tanggal satu di penghujung tahun 2016 kami menginjakkan kaki di tanah surga yang berada di ujung utara Indonesia. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan Pulau Natuna. Berbunga hatiku ketika datang disambut dengan deburan ombak dan birunya langit. Aaah.. aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, sudah hampir satu tahun lamanya aku tidak merasakan wangi pantai dan sedapnya ikan bakar. Satu tahun kedepan kami berdelapan akan bersama-sama mengarungi luasnya lautan kehidupan, mengumpulkan banyak kisah bersama-sama di Pulau Natuna.
Kisah kami dimulai ketika pertama kali menghirup udara Natuna, merasakan kesegaran air Natuna, dan menapakkan kaki di Natuna. Kabupaten kepulauan yang luas perairannya lebih luas dibandingkan luas daratannya. Bayangkan, hampir 97% Kabupaten Natuna terdiri dari wilayah perairan. Pantas saja banyak negara tetangga yang melirik potensi sumber daya yang ada di Pulau Natuna. Iklim tropis Indonesia juga semakin mendukung keanekaragaman hayati baik di wilayah perairan maupun di wilayah daratan.


Kami sampai di Natuna tepat pukul 11.00 WIB, setelah menempuh perjalanan udara dari Kota Batam selama satu setengah jam. Sembari mengobarkan semangat perjuangan kami turun dari pesawat yang hanya beroperasi satu minggu dua kali dari Batam-Natuna ataupun sebaliknya. Bandara di Natuna berbeda dengan bandara lainnya,  bandara disini masih bergabung dengan Pangkalan TNI AU Raden Sadjad Kabupaten Natuna. Pertama kali kami sampai di Natuna sudah disambut dengan beberapa hal unik. Salah satunya adalah mekanisme pengambilan barang di bandara. Barang kami diangkut menggunakan kereta barang dan diturunkan di lapangan luas di depan bandara. Awalnya kami sempat kebingungan, tapi ketika melihat banyak orang beramai-ramai mengambil barang, kami jadi ikut-ikutan berebut mengambil barang. Tidak seperti orang travelling pada umumnya, sepertinya barang kami hampir memenuhi ½ kapasitas barang di pesawat. Maklum kami sangat preventif dengan barang bawaan kami yang akan digunakan selama satu tahun. Bahkan barang seperti sendal jepit pun kami bawa. Hmm.. aku bersyukur perjalanan kami dari Batam menuju Natuna lancar dan nyaman.
Setelah kami sampai di bandara, kami dijemput oleh kakak-kakak Pengajar Muda angkatan XI, bus coklat PEMDA Kab. Natuna sudah siap di depan bandara untuk mengantarkan kami menuju penginapan Sisir Basisir. Sebuah penginapan di Kota Ranai yang lokasinya berada di tepi pantai. Aah.. sampai penginapan perut kami sudah keroncongan, alarm tanda lapar sudah berbunyi. Hidangan yang pertama kali disuguhkan pada kami adalah olahan ikan, seperti semboyan kami “Cintai Natuna, makan ikan tiap hari.” Sepertinya semboyan itu akan selalu melekat pada kami selama satu tahun ke depan. Berbeda dengan ikan-ikan di rumah Malang, makan ikan disini berasa sangat sedap sekali. Ikannya masih segar, dagingnya masih merah. Rata-rata olahan masakannya berasal dari ikan simbek (red. Tongkol). Kurasa aku mulai jatuh cinta pada Natuna, bayangkan pertama hidangan pertama yang disuguhkan kami nikmati di tepi pantai. Semilir angin pantai ditemani suara burung camar dan lambaian daun kelapa semakin menambah syahdunya suasana siang itu.

Indahnya suasana hari ini cukup membuatku tidak membutuhkan alasan lagi untuk jatuh cinta pada Natuna. Natuna, kabupaten dengan keramahan penduduknya, kenikmatan hidangannya, dan keindahan alamnya yang akan menemani kisah kami selama satu tahun kedepan. Natuna yang akan menjadi serpihan mozaik kehidupan kami yang akan kami kisahkan pada anak cucu kami kelak. Aku berharap semoga Allah selalu memudahkan langkah kami untuk melanjutkan estafet perjuangan dari pejuang-pejuang sebelum kami. Semoga kami dapat banyak belajar, mengambil hikmah-hikmah tersembunyi di balik kisah-kisah yang kami alami nanti. #NatunaBerkisah