Bukan lautan tapi
kolam susu
Kail dan jala cukup
menghidupimu
Tiada topan tiada
badai kau temui
Udang dan ikan
menghampiri dirimu
Orang bilang tanah
kita tanah surga
Tongkat, kayu, dan
batu jadi tanaman
Tepat tanggal
satu di penghujung tahun 2016 kami menginjakkan kaki di tanah surga yang berada
di ujung utara Indonesia. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan Pulau Natuna.
Berbunga hatiku ketika datang disambut dengan deburan ombak dan birunya langit.
Aaah.. aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, sudah hampir satu tahun
lamanya aku tidak merasakan wangi pantai dan sedapnya ikan bakar. Satu tahun
kedepan kami berdelapan akan bersama-sama mengarungi luasnya lautan kehidupan,
mengumpulkan banyak kisah bersama-sama di Pulau Natuna.
Kisah kami
dimulai ketika pertama kali menghirup udara Natuna, merasakan kesegaran air
Natuna, dan menapakkan kaki di Natuna. Kabupaten kepulauan yang luas
perairannya lebih luas dibandingkan luas daratannya. Bayangkan, hampir 97%
Kabupaten Natuna terdiri dari wilayah perairan. Pantas saja banyak negara
tetangga yang melirik potensi sumber daya yang ada di Pulau Natuna. Iklim
tropis Indonesia juga semakin mendukung keanekaragaman hayati baik di wilayah
perairan maupun di wilayah daratan.
Kami sampai
di Natuna tepat pukul 11.00 WIB, setelah menempuh perjalanan udara dari Kota
Batam selama satu setengah jam. Sembari mengobarkan semangat perjuangan kami
turun dari pesawat yang hanya beroperasi satu minggu dua kali dari Batam-Natuna
ataupun sebaliknya. Bandara di Natuna berbeda dengan bandara lainnya, bandara disini masih bergabung dengan
Pangkalan TNI AU Raden Sadjad Kabupaten Natuna. Pertama kali kami sampai di
Natuna sudah disambut dengan beberapa hal unik. Salah satunya adalah mekanisme
pengambilan barang di bandara. Barang kami diangkut menggunakan kereta barang
dan diturunkan di lapangan luas di depan bandara. Awalnya kami sempat
kebingungan, tapi ketika melihat banyak orang beramai-ramai mengambil barang,
kami jadi ikut-ikutan berebut mengambil barang. Tidak seperti orang travelling pada umumnya, sepertinya
barang kami hampir memenuhi ½ kapasitas barang di pesawat. Maklum kami sangat
preventif dengan barang bawaan kami yang akan digunakan selama satu tahun.
Bahkan barang seperti sendal jepit pun kami bawa. Hmm.. aku bersyukur
perjalanan kami dari Batam menuju Natuna lancar dan nyaman.
Setelah kami
sampai di bandara, kami dijemput oleh kakak-kakak Pengajar Muda angkatan XI,
bus coklat PEMDA Kab. Natuna sudah siap di depan bandara untuk mengantarkan
kami menuju penginapan Sisir Basisir. Sebuah penginapan di Kota Ranai yang
lokasinya berada di tepi pantai. Aah.. sampai penginapan perut kami sudah
keroncongan, alarm tanda lapar sudah berbunyi. Hidangan yang pertama kali
disuguhkan pada kami adalah olahan ikan, seperti semboyan kami “Cintai Natuna,
makan ikan tiap hari.” Sepertinya semboyan itu akan selalu melekat pada kami
selama satu tahun ke depan. Berbeda dengan ikan-ikan di rumah Malang, makan
ikan disini berasa sangat sedap sekali. Ikannya masih segar, dagingnya masih
merah. Rata-rata olahan masakannya berasal dari ikan simbek (red. Tongkol).
Kurasa aku mulai jatuh cinta pada Natuna, bayangkan pertama hidangan pertama
yang disuguhkan kami nikmati di tepi pantai. Semilir angin pantai ditemani
suara burung camar dan lambaian daun kelapa semakin menambah syahdunya suasana
siang itu.
Indahnya
suasana hari ini cukup membuatku tidak membutuhkan alasan lagi untuk jatuh
cinta pada Natuna. Natuna, kabupaten dengan keramahan penduduknya, kenikmatan
hidangannya, dan keindahan alamnya yang akan menemani kisah kami selama satu
tahun kedepan. Natuna yang akan menjadi serpihan mozaik kehidupan kami yang
akan kami kisahkan pada anak cucu kami kelak. Aku berharap semoga Allah selalu
memudahkan langkah kami untuk melanjutkan estafet perjuangan dari
pejuang-pejuang sebelum kami. Semoga kami dapat banyak belajar, mengambil
hikmah-hikmah tersembunyi di balik kisah-kisah yang kami alami nanti.
#NatunaBerkisah