Minggu, 02 November 2014

Aku dan Yogyakarta part 2: Obrolan di Kala Senja

"Terkadang kita terlalu tinggi memandang orang lain dan terlalu rendah memandang diri sendiri dibandingkan dengan orang lain"
Banyak hal yang masih ingin kuceritakan tentang perjalanan hidup selama di kota Jogja yang sangat istimewa ini. Salah satunya adalah kutipan cerita yang terjadi di kala senja di kampus biru itu. Saat itu aku hadir sebagai sosok wanita yang masih polos dan berapi api, walaupun secara kronologis umur ini lebih tua dibandingkan lawan bicara, namun lawan bicara jauh lebih bijak dibandingkan diriku ini. Apalah aku, hanya butiran debu yang akan hilang ketika disapu angin. Waktu itu hanya ada lima orang di dalam ruangan ber cat putih dan terlihat megah dibandingkan yang lainnya karena terdapat mesin pendingin udara di dalamnya. Di sore itu kami tak sengaja berkumpul, dikumpulkan dalam sebuah forum yang tak sengaja kami bentuk. Setiap obrolan mengalir dengan santai dari bibir ini bagaikan air sungai yang mengalir dengan derasnya. Obrolan kami buka mulai dari kesibukan sehari-hari sampai obrolan terpanas mengenai kisah asmara. Sudah terlalu sering memang aku mendiskusikan hal ini, mulai dari tataran orang-orang yang elitis sampai orang-orang yang populis dan terkadang tidak mengagung-agungkan idealisme.

Sungguh, kisah asmara adalah kisah terasik yang menjadi obrolan kami sore itu. Ditambah cahaya temaram yang bersumber dari tiga lilin yang sengaja kami nyalakan karena listrik sedang mati. Semakin dramatislah obrolan kami, ditemani dengan kawan-kawan yang tak kusangka ternyata mereka sangat bijak dalam memutuskan segala hal atau mempertahankan prinsip mereka. Pertanyaan paling menggelikan adalah pertanyaan "mengapa kamu pacaran dan mengapa kamu tidak pacaran?" darisanalah aku melihat kalau ternyata masing-masing orang punya pilihan. Iya, aku tahu hidup itu memilih, dan sebuah kehidupan yang menciptakanmu sampai seperti saat ini adalah akumulasi dari pilihan-pilihan yang kamu tentukan. Beberapa teman menjawab jadikan pacaran itu sebagai motivasi hidup kamu, sebagian juga menjawab aku tidak ingin terikat makanya aku tidak pacaran, dan adapula yang menjawab kalau itu tidak sesuai dengan syariat agama. Memang pemikiran orang itu berbeda-beda dan dari sinilah kita belajar bagaimana cara menghargai dan merasa dihargai, karena semakin banyak kamu berdiskusi maka akan semakin banyak kamu menemukan fakta-fakta yang terkadang tidak sesuai dengan keinginanmu. Maka dari itu, sebuah proses sangatlah penting untuk mendidik kita sebagai insan yang dibekali akal untuk senantiasa berpikir membangun sebuah perbaikan.

Setelah bercerita tentang kisah asmara, kamipun beralih topik karena sudah dirasa membosankan untuk sekedar membicarakan soal asmara. Kesempatan ini harus dimanfaatkan untuk membicarakan hal yang lebih urgen ketimbang hanya sekedar basa-basi membicarakan hal yang sebenarnya sudah jelas dan tidak perlu diperjelas lagi, karena momentum kebersamaan seperti sore itu sulit dicapai akibat kesibukan masing-masing. Kemudian kami beralih membahas isu-isu seputar kampus, dari sanalah kata demi kata mengukir sebuah makna menjadikan obrolan sore itu semakin berkualitas bagi kami. Seketika itu pula kami juga membicarakan apa yang sedang terjadi di sekitar kami, khususnya organisasi yang sedang kami geluti bersama. Sampai pada titik pembicaraan mengapa ada kasus menghilangnya seseorang dari lingkaran kami, arti menghilang disini adalah mengapa beberapa orang pergi dan mungkin tak akan kembali, miris bung! Pembicaraan kami merembet pada masa dimana kami sangat mengagung-agungkan orang yang kemarin berhasil menarik hati kami, tapi apa yang terjadi saat ini? terkadang memang idealita tak sesuai dengan realita. Aaakh.. Sampai akhirnya muncul kalimat yang cukup menenangkan hati kami "Terkadang kita terlalu tinggi memandang orang lain dan terlalu rendah memandang diri sendiri dibandingkan dengan orang lain". Mungkin itulah sebabnya mengapa kami kecewa ketika teman kami hilang atau pergi merantau entah dengan tujuan yang jelas ataupun tidak jelas, Darisini aku belajar, janganlah kamu terlalu tinggi memasang standar, ketika keinginanmu tidak terpenuhi maka kamu akan kecewa. Sungguh kehidupan itu dinamis, kadang kita berekspektasi lebih terhadap seseorang tapi kita tidak pernah memikirkan orang-orang yang selalu ada di sekitar kita membersamai dalam suka maupun duka. Semoga akal ini selalu berjalan dengan hati dan keringat. Supaya keringat tidak berjalan sendirian tanpa dibersamai dengan akal dan hati, karena akal dan hati adalah segala sesuatunya yang akan menentukan sejauh mana kakimu akan melangkah dan seberapa banyak keringat ini akan diperas.
Maafkan bila aku terlalu banyak meremehkan orang-orang yang senantiasa setia menemani dan selalu menganggap orang lain diluar sana lebih agung karena silau yang ditimbulkan tiada tara indahnya. Memang benar kata orang, jangan menilai orang dari luarnya saja. Bahkan temanku juga ada yang berkata sifat dan tabiat seseorang itu akan terlihat ketika ia mendapatkan amanah. Kini dunia ini muncul dengan berbagai modus pencitraan yang bisa membiaskan hati nurani serta akal pikiran ini untuk memilih. Semoga kami selalu diberikan perlindungan yang luar biasa dan selalu diarahkan ke arah kebaikan. Salam perjuangan!
Karanggayam, 031114
Dita Innata

Senin, 20 Oktober 2014

Aku dan Yogyakarta part 1: Kenikmatan Tiada Tara

Sudah lama, selalu dua kata itu yang kutuliskan pertama kali dalam setiap tulisan yang kubuat. Iya, memang sudah lama aku tidak menuangkan pemikiranku atau kisahku dalam sebuah tulisan. Padahal seperti yang kita tau setiap kata memiliki makna dan kekuatan apabila dirangkaikan dalam sebuah kalimat. Sudah lama ingin menuliskan beberapa kisah kehidupan selama tiga tahun terakhir aku hidup di kota ini Yogyakarta sebuah kota yang teramat istimewa. Tidak hanya istimewa namanya, setiap sudut kota bahkan orang-orangnya pun memiliki keistimewaan. Berawal dari sebuah kisah anak sekolah yang saat itu masih mengenakan seragam putih abu-abunya. Di kala itu adalah masa ketika kamu mulai ingin menentukan jalan hidupmu sendiri, mulai ingin menentukan arah kemana kau akan pergi. Yap, diujung pendidikanmu di sekolah menengah atas. 

Setiap orang dikelas yang kau beri pertanyaan "mau kuliah dimana?" pasti dia akan diam sejenak berpikir sedalam-dalamnya kemudian dia akan menjawab, ya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi yang terkenal dengan jurusan ini itu karena aku ingin meraih cita-citaku. Sama halnya dengan diriku, mungkin aku adalah salah satu orang yang mengikuti arus berpikir orang-orang dimasa itu, persis jawabanku adalah ingin melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada, salah satu universitas tertua di Indonesia. Seperti mimpi memang, mimpi yang besar dan mungkin saat itu akupun tidak yakin bisa meraih mimpi itu, karena memang terlihat mustahil seorang anak yang lahir di desa, lebih tepatnya pinggiran kota bisa melanjutkan kuliah di salah satu universitas terbesar di Indonesia karena di tempatku tinggal memang jarang sekali ditemukan lulusan dari universitas itu. Bahkan menemukan orang yang bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi saja mungkin akan sulit. Tapi memang manusia hanya bisa berusaha, yang menentukan tetaplah Allah. 

Terucap segala doa serta berbagai usaha pun dilakukakan, tentunya usaha yang masih di jalanNya. Di tahun 2011 adalah tahun pertama kali diterapkan SNMPTN undangan, salah satu program pemerintah untuk jalur masuk perguruan tinggi negeri yang didasari oleh rekomendasi dari sekolah tempat asal. Alhasil pada waktu itu aku direkomendasikan untuk mengikuti proses seleksi SNMPTN undangan. Sembari menunggu detik-detik ujian akhir nasional aku mulai menentukan langkah memilih perguruan tinggi yang akan menjadi bagian dari hidupku nantinya. Dengan penuh kesungguhan, kumantapkan hati ini untuk memilih kampus biru, jurusan yang kupilih adalah biologi. Jurusan itu yang tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Awalnya memang aku bingung mengapa memilih fakultas ini, tapi sampai detik ini aku bersyukur ditempatkan di fakultas ini. Kira-kira hampir dua bulan menunggu pengumuman SNMPTN undangan dari DIKTI, waktu itu pengumuman hasil SNMPTN undangan hanya bisa diakses pada jam tertentu, alhasil aku dan keluargaku menunggu sampai pengumuman itu di rilis. Menunggu itu memang menyebalkan, dan pada akhirnya jeng..jeeeng. Alhamdulillah puji syukur yang luar biasa dihaturkan padaNya. 

Entah itu mimpi atau memang keberuntungan bisa melanjutkan kuliah di UGM, jalan itu dipermudah olehNya, sungguh kebahagiaan yang tak terkira. Memang masih banyak yang harus diperjuangkan, diterima di UGM bukanlah hal yang mudah, banyak hal yang harus kamu emban sebagai mahasiswa di Universitas yang katanya kerakyatan ini. Nilai-nilai moral yang harus diperjuangkan bahkan sampai nama besar Gadjah Mada pun dipertaruhkan. Pertanyaannya adalah apakah kita sebagai mahasiswa UGM mampu menjalankan ini semua? menganut nilai-nilai keUGM an yang kita emban, bukan hanya menjadi sosok mahasiswa yang hanya memiliki titel Gadjah Mada, tapi bagaimana cara kamu mengimplementasikan nilai-nilai itu kemasyarakat. Menjadikan dirimu mahasiswa yang tidak hanya luar biasa di kelas tapi juga menjadi idola di lapangan. Yap, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan :) Jangan sampai Gadjah Mada hanya menjadi sekedar gelar yang disematkan padamu, jadikanlah Gadjah Mada mendarah daging disetiap langkahmu karena kuakui Gadjah Mada itu berbeda :) Sejak itu pula aku menyadari betapa skenario Allah itu sangatlah indah, tak pernah membayangkan bisa memijakkan kaki di tanah Yogyakarta selama ini. Sungguh nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan? -Bersambung-